Manajemen Risiko Dan Proyek
Nama : D. Sandi R.
Tugas Softskill Manajemen Risiko Dan Proyek
=================================
Penanganan Resiko Perubahan Iklim terhadap Pertanian
1.Pendahuluan
Resiko berhubungan dengan ketidakpastian, ini terjadi karena kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi.Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (Opportunity), sedangkan ketidak pastian yang menibulkan akibat yang merugikan dikenal dengan istilah risiko (Risk).
Begitu juga yang dialami oleh petani saat ini,kehawatiran gagal panen mungkin hal klasik yang ada di benak para petani.2.Isi
Pemanasan global telah mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit menentukan jenis varietas dan kalender tanam, lantaran iklim sulit diduga. Di berbagai wilayah Indonesia kekeringan dan banjir menggagalkan produksi pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen lantaran kemarau panjang dan banjir. Musim kemarau dan hujan yang tidak menentu semakin sering terjadi. Kekeringan semakin panjang dan musim hujan berlangsung lebih pendek namun lebih intensif. Kondisi cuaca yang semakin ekstrem tersebut berpeluang menyebabkan kekeringan dan banjir akan makin sering terjadi dengan intensitas yang tinggi. Siaran pers Dewan Nasional Perubahan Iklim yang diterima Burung Indonesia Jumat (13/2) menyebutkan, pertanian adalah salah satu sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Disebutkan, perubahan iklim itu telah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Saat ini awal musim kemarau datang 10-60 hari lebih cepat dari biasanya dan musim hujan pun lebih lambat 10-30 hari. Curah hujan di musim kemarau semakin turun, sementara saat musim penghujan curah hujannya bertambah. Menurut Gatot Irianto, Direktur Pengelolaan Air pada Departemen Pertanian, dampak perubahan iklim terhadap pertanian sebenarnya tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan. Dalam studinya dalam intensitas anomali kuat. Maka kehilangan masa tanam bisa mencapai lima dasarian. Itu terjadi musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Ini di Subang yang merupakan sentra produksi pangan. Tapi kalau anomalinya sedang ini mundurnya cuma 20 hari. Bandingkan kalau tidak mengalami anomali, masa tanamnya ada tambahan 50 hari atau setengah siklus dari tanaman padi. Hal itu ditengarai sebagai dampak nyata dari pemanasan global. Petani, semakin kesulitan untuk memprediksi musim tanam akibat pergeseran musim.
Menurut data dari berbagai media, petani di beberapa wilayah telah menderita kerugian gagal panen dan puso akibat bencana iklim ini. Di Sulawesi Barat misalnya, sekitar 4.000 hektar tanaman padi usia 10-15 hari dipastikan gagal panen karena kekeringan akibat jebolnya tanggul Bendungan Sekka-Sekka, Kabupaten Polewali Mandar. Jika bendungan tidak segera diperbaiki, kurang lebih 12.535 hektar sawah terancam gagal panen. Sementara itu, sekitar 4.192 hektar tanaman padi di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jateng, puso akibat banjir. Demikian juga di Kudus, Jawa Tengah sekitar 1.100 hektar tanaman padi puso. Kondisi serupa pun dialami oleh petani di daerah lain di Indonesia.
3.Penutup
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen risiko iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas sektor, baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Di samping itu, kita tidak boleh lupa bahwa upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi.
sumber:http://www.gerdutaskin-jatim.web.id/v3/index.asp?a=detail&what=artikel&ID=83
Disebutkan, perubahan iklim itu telah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Saat ini awal musim kemarau datang 10-60 hari lebih cepat dari biasanya dan musim hujan pun lebih lambat 10-30 hari. Curah hujan di musim kemarau semakin turun, sementara saat musim penghujan curah hujannya bertambah. Menurut Gatot Irianto, Direktur Pengelolaan Air pada Departemen Pertanian, dampak perubahan iklim terhadap pertanian sebenarnya tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan. Dalam studinya dalam intensitas anomali kuat. Maka kehilangan masa tanam bisa mencapai lima dasarian. Itu terjadi musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Ini di Subang yang merupakan sentra produksi pangan. Tapi kalau anomalinya sedang ini mundurnya cuma 20 hari. Bandingkan kalau tidak mengalami anomali, masa tanamnya ada tambahan 50 hari atau setengah siklus dari tanaman padi. Hal itu ditengarai sebagai dampak nyata dari pemanasan global. Petani, semakin kesulitan untuk memprediksi musim tanam akibat pergeseran musim.
Menurut data dari berbagai media, petani di beberapa wilayah telah menderita kerugian gagal panen dan puso akibat bencana iklim ini. Di Sulawesi Barat misalnya, sekitar 4.000 hektar tanaman padi usia 10-15 hari dipastikan gagal panen karena kekeringan akibat jebolnya tanggul Bendungan Sekka-Sekka, Kabupaten Polewali Mandar. Jika bendungan tidak segera diperbaiki, kurang lebih 12.535 hektar sawah terancam gagal panen. Sementara itu, sekitar 4.192 hektar tanaman padi di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jateng, puso akibat banjir. Demikian juga di Kudus, Jawa Tengah sekitar 1.100 hektar tanaman padi puso. Kondisi serupa pun dialami oleh petani di daerah lain di Indonesia.
3.Penutup
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen risiko iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas sektor, baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Di samping itu, kita tidak boleh lupa bahwa upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi.
sumber:http://www.gerdutaskin-jatim.web.id/v3/index.asp?a=detail&what=artikel&ID=83
You can leave a response, or trackback from your own site.
0 Response to "Manajemen Risiko Dan Proyek"
Posting Komentar