ManaJemen Risiko dan Proyek

Nama: D.Sandi R


Tugas Softskill Manajemen Risiko Dan Proyek

===================================


Penanggulangan Bencana

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:

(a) Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation)

(b) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana

(c) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Kekeringan

Negara kepulauan Indonesia yang terletak di khatulistiwa dan diantara dua benua dan dua samudra memiliki iklim yang unik serta rentan terhadap perubahan iklim regional dan global. Kejadian el niƱo dahsyat pada 1997 serta beberapa kejadian setelahnya, membawa peningkatan risiko kekeringan iklim yang berdampak pada pertanian, kehutanan, perikanan dan sektor kehidupan lainnya. Untuk menyamakan persepsi di pusat dan daerah akan sebuah pendekatan analisis terhadap risiko bencana iklim kekeringan maka perlu diadakan sebuah kajian analisa risiko bencana kekeringan. Kekeringan diartikan sebagai berkurangnya persediaan air di bawah normal bersifat sementara baik di atmosfer dan di permukaan. Penyebab terjadinya kekeringan adalah menurunnya curah hujan pada periode yang lama (beberapa dasarian) disebabkan oleh interaksi atmosfer dan laut serta akibat ketidakteraturan suhu permukaan laut seperti akibat yang ditimbulkan oleh fenomena el nino. Kekeringan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat alamiah di mana intervensi manusia atas penyebab bencana kekeringan sangat minimal. Dalam hal ini manusia dan aktivitasnya menerima dampak dari kekeringan tersebut. Kekeringan membawa akibat serius pada pola tanam, pola pengairan, pola pengoperasian irigasi serta pengelolaan sumber daya air di permukaan lainnya. Diperlukan sebuah penanganan strategis seperti manajemen kekeringan (pengelolaan kekeringan) untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Kekeringan merupakan kejadian biasa dan menggambarkan iklim yang senantiasa berulang, meskipun sering disalahartikan sebagai kejadian acak dan sangat jarang. Dalam kenyataannya terjadi pada semua jenis iklim meskipun karakteristiknya sangat berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kekeringan merupakan penyimpangan temporer dan sangat berbeda dengan kegersangan (aridity) yang lebih bersifat permanen di mana curah hujan yang turun senantiasa kecil seperti contohnya di NTT. Kekeringan itu harus selalu diperhitungkan secara relatif terhadap kondisi rata-rata jangka panjang dari neraca antara curah hujan dan evapotranspirasi di suatu wilayah, di mana kondisi seperti ini disebut normal.


Potensi Kekeringan di Indonesia


Pada musim kemarau wilayah-wilayah di Indonesia terancam bencana kekeringan. Bencana ini menjadi permasalahan serius jika menimpa daerah-daerah produsen tanaman pangan seperti pernah terjadi di Bojonegoro di mana akibat kekeringan sawah seluas kurang lebih 1.000 hektar tidak memperoleh pasokan air sehingga gagal panen. Hal serupa juga terjadi di daerah Pantai Utara Jawa, di mana kekeringan menimpa daerah produksi pangan seluas kurang lebih 12.985 hektar. Dewasa ini kekeringan juga menyebabkan
permasalahan pada penyediaan energi di Indonesia karena menurunnya energi yang bisa dihasilkan oleh pembangkit listrik, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menyangga penyediaan energy listrik terutama di wilayah Jawa-Bali. Bencana kekeringan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang di daerah-daerah tertentu terutama di Kawasan Timur Indonesia seperti NTB, NTT serta beberapa wilayah di Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Selain menyebabkan bencana-bencana seperti disebutkan di atas, kekeringan juga potensial menyebabkan peningkatan jumlah penderita penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.Kekeringan yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami intensitas kejadian dan luasan area kekeringan yang terus meningkat. Hasil analisis data observasi terrestrial menunjukkan daerah yang berpotensi mengalami kekeringan umumnya mencakup Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Sulawesi.

Daerah yang berpotensi mengalami kekeringan di Indonesia :




Beberapa daerah tersebut dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya seperti Kabupaten Karawang dan Subang propinsi Jawa Barat. Hal pokok yang menjadi kunci keberhasilan daerah tersebut adalah telah terbangunnya infrastruktur jaringan irigasi yang relative baik dan pasokan air irigasi dari bendungan (Jatiluhur) relative mencukupi.

Solusi untuk Meminimalisasi Dampak Kekeringan


Ada dua alternatif untuk mempertahankan pasokan kebutuhan pangan di Indonesia dari dampak buruk kekeringan. Pertama dengan mengoptimalkan suplay air berlebih pada musim hujan dengan menampung air hujan dan meningkatkan area resapan air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kedua mengembangkan area pertanian di luar Jawa dengan sentuhan teknologi ramah lingkungan untuk beradaptasi dengan kondisi lahan yang sebagian besar didominasi lahan gambut.


Alternatif pertama memang harus dikembangkan di Jawa yang sudah lebih mapan dalam bidang pertanian. Pengembangan teknologi embung dan kanal reservoir sudah terbukti dapat membantu mengatasi kekurangan air pada bulan kemarau. Selain itu untuk daerah aliran sungai perlu penganganan lebih serius karena banyaknya lahan hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan beralih fungsi ke peruntukan yang lain seperti pemukiman. Kondisi tersebut mendorong hujan yang jatuh
dialiran sungai tidak tertahan dan langsung mengalir ke system jaringan sungai yang menyebabkan melimpahnya air sungai dan membawa endapan tanah akibat erosi. Tingginya erosi di DAS cenderung menyebabkan pendangkalan sungai. Sedangkan pada musim kemarau pada satu sisi curah hujan rendah ditambah dengan simpanan air tanah sedikit menyebabkan debit aliran sungai sangat kecil dan volume air cenderung rendah. Untuk tindakan yang perlu dilakukan pada aliran sungai yaitu dengan membuat bendungan untuk menyimpan air pada musim hujan. Memang biaya yang diperlukan sangat tinggi, tetapi manfaat yang dirasakan lebih tinggi dan langsung menyentuh kebutuhan pengguna.

Alternatif kedua cenderung dikembangkan diluar Jawa yang memang ketersedian air lebih tinggi dan lahan relative lebih luas. Pemikiran yang melatarbelakangi yaitu lahan sawah di Jawa dari tahun ke tahun terus berkurang karena kebutuhan lahan untuk pembagunan terus meningkat. Pemerintah perlu bertindak nyata di luar Jawa terutama Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan mengalokasikan sebagian lahan untuk pertanian. Dengan catatan tidak mengulang kegagalan pembukaan lahan sejuta hektar di Kalimantan. Aksi nyata ini juga dimungkinkan untuk merefungsikan kembali hutan gundul akibat illegal logging dan
kebakaran hutan sehingga tidak terbengkalai terlalu lama dan dapat berfungsi untuk mengatasi krisis pangan yang mulai menghantui bangsa Indonesia.



tulisan ini dikutip dari berbagai sumber

Read More>>

Powered by Blogger